Zaman Jahiliyyah Di
Masa Pra-Islam
Apakah Benar-Benar
Zaman Yang Penuh Kebodohan
Ditulis Oleh Mohammad
Nayaka Rama Yoga
Selama ini,
ketika orang mendengar istilah “zaman jahiliyyah”, bayangan yang muncul pertama
kali dalam benak kita adalah orang-orang arab yang hidup tanpa adanya aturan, berperilaku
kasar, tidak beragama, barbar, dan lain sebagainya. Itu wajar-wajar saja karena
cara pandang kita terhadap hal tersebut sangat dipengaruhi oleh pengajaran dari
guru-guru SKI di sekolah. Kemudian pemahaman itu juga berasal dari sudut
pandang setelah Islam datang. Artinya, kita melihat masa sebelum Islam dari
kacamata masa sesudahnya. Dalam studi sejarah agama, ini disebut dengan retrospective
labeling, masa lalu diberi nama oleh masa sesudahnya. Itu sah-sah saja
secara keagamaan, karena Al-Qur’an memang mengkritik praktik sosial waktu itu.
Tapi kalau kita memakai kacamata yang lebih kritis, kita perlu bertanya-tanya
apakah kata “jahiliyyah” itu menggambarkan seluruh kenyataan sosial pada masa
Arab pra-Islam, atau itu lebih merupakan istilah yang dibahasakan dengan nada
mengkritik ataupun mendakwahkan Islam kepada khalayak ramai?
Pertama, dari
sisi bahasa. Toshihiko Izutsu (1966) meneliti kosa kata etika dalam Al-Qur’an
dan menemukan bahwa jahl dalam Arab klasik itu bukan “bodoh” dalam arti
IQ rendah, tapi lebih kepada sikap dan emosi yang suka meledak-ledak dan tidak
terkendali. Lawan katanya adalah nya hilm yang berarti tenang, matang,
beradab. Jadi ketika Al-Qur’an atau tradisi awal di sana menyebut tentang
adanya perilaku jahiliyyah, yang dikritik disitu adalah gaya hidup yang
dituntun nafsu dan gengsi, bukan fakta bahwa mereka tidak bisa membaca dan tidak
berpengatahuan sama sekali. Dengan argumen Ini secara tidak langsung akan
menurunkan klaim bahwa masa jahiliyyah adalah masa yang gelap total menjadi masa
ketika etika belum tertata.
Kedua, dari sisi
kebudayaan. Sejarawan seperti Philip K. Hitti dalam bukunya History of the
Arabs dan W. Montgomery Watt dalam bukunya Muhammad at Mecca, 1953
menunjukkan bahwa masyarakat Arab, terutama di Mekkah, sudah terhubung dengan
jalur perdagangan internasional, seperti ke Syam (Suriah), ke Yaman, bahkan ke
Abyssinia. Kota Mekkah bukan kampung dalam artian terpencil selamanya. Arab menjadi
titik transit kafilah dan punya fungsi keagamaan karena adanya Ka‘bah. Artinya,
mereka hidup dalam jaringan ekonomi dan budaya yang hidup. Masyarakat yang
punya jaringan dagang di seluruh dunia, pembagian peran, dan pusat dala melakukan ritual seperti itu sulit disebut
“gelap” dalam arti tidak beradab.
Ketiga, dari
sisi sastra. Ini bagian yang sering dilupakan apalagi kalau kita hanya menggunakan perspektif bahwa pada masa itu benar-benar masa yang kelam. Justru di masa pra-Islam lahir puisi-puisi terbaik Arab yang kita kenal
sebagai mu‘allaqāt. Puisi-puisi ini bukan cuma indah, tapi juga
menunjukkan kepekaan diri mereka terhadap alam, cinta, perang, kehormatan, dan
perjalanan hidup. Orang yang bisa membuat puisi setajam itu jelas bukan
masyarakat yang bodoh dan terbelakang. Di sini dapat disimpulkan secara
sederhana bahwa mereka punya cultural sophistication. Karena itu, banyak
peneliti modern agak hati-hati memakai istilah zaman kegelapan untuk
menggambarkan keadaan mereka pada saat itu.
Keempat, kita
juga perlu ingat bahwa istilah jahiliyyah dalam sumber-sumber Islam awal
punya fungsi untuk menegaskan sebuah identitas baru. Islam sebenarnya secara
tersirat ingin menegaskan, “kami membawa sesuatu yang berbeda loh.” Untuk
menonjolkan sesuatu yang baru, sering kali yang sesuatu yang lama akan dibuat sangat
kontras dan bertentangan. Ini bukanlah sebuah manipulasi dan kebohongan, tapi
memang begitu cara wacana yang berbau ideologis bekerja. Mohammed Arkoun (1994)
menyebutnya penataan ulang sebuah ruang makna, yaitu bahwa Islam datang dan
menilai ulang berbagai praktik sosial yang sudah ada. Jadi, ketika teks-teks
Islam menyebut zaman itu sebagai zaman “jahiliyyah”, itu juga sekaligus suatu cara Islam untuk mengatakan
bahwa “standar nilai kita sekarang bukan lagi berdasarkan kehormatan suku, tapi
berdasarkan takwa kepada Tuhan dan keadilan kepada sesama manusia.”
Kelima, penting
juga untuk melihat bahwa sifat masyarakat Arab pra-Islam itu tidaklah tunggal.
Ada sifat yang memang terlihat keras dan brutal (seperti perang antar-suku,
penguburan bayi perempuan di sebagian kabilah, dan perbudakan), tapi ada juga
nilai-nilai yang luhur, seperti melindungi tamu, memuliakan orang yang lemah
bila sudah memohon perlindungan di bawah kabilah, dan memberi makan orang di saat
musim paceklik. Quraish Shihab (1996) mengingatkan bahwa Al-Qur’an sendiri
tidak menghapus semua yang sudah ada. Alquran mengakui hal-hal yang baik pada
mereka, dan mengoreksi hal-hal yang buruk. Kalau seadainya semua sifat orang
Arab itu memang penuh dengan kegelapan, Islam tidak akan punya apa yang disebut
Fazlur Rahman (1979) sebagai continuity, yakni keberlanjutan dengan berbagai
budaya di Arab.
Keenam, kita
juga harus waspada terhadap pembacaan yang terlalu romantis, seperti ungkapan
bahwa masa jahiliyyah itu sebenarnya hebat. Tujuan kita bukan untuk membalik lalu
kemudian mengagung-agungkan pra-Islam, tapi menempatkannya secara proporsional.
Kerasnya struktur sosial saat itu nyata, terutama dalam permasalahan gender dan
kekuasaan. Kritik Al-Qur’an terhadap praktik mewarisi perempuan kepada keluarga
si suami apabila suaminya telah meninggal (QS. an-Nisā’:19) dan mengkritik sikap
malu memiliki anak perempuan (QS. an-Nahl:58–59) sangat menunjukkan ada
kerusakan moral yang serius. Jadi, kritik Islam itu sah karena memang ada yang
perlu diperbaiki. Yang kita bongkar di sini hanyalah klaim bahwa “sebelum Islam
semua itu serba buruk” , karena itu tidak sesuai dengan data sejarah.
Kalau semua poin
itu kita rangkai, dapat terlihat bahwa “kegelapan” dalam zaman jahiliyyah
lebih tepat dipahami sebagai ketiadaan panduan moral yang menyatukan dan dominasinya
kepentingan suku dan gengsi. Bangsa Arab mempunyai kecerdasan, punya ekonomi,
punya sastra, tapi belum punya kerangka nilai yang menempatkan semua manusia
pada derajat yang sama di hadapan Tuhan. Itulah yang kemudian dibawa Islam.
Jadi, setelah kita bongkar disini, masalahnya bukan “mereka bodoh,” melainkan
“mereka hidup dalam sistem nilai yang sempit.” Hal itu terjadi karena mereka tidak
memiliki suatu pedoman atau panduan yang bersifat universal dan dapat dipatuhi
serta diterima oleh semua suku di Arab. Ini baru bisa terwujud ketika Islam
datang dengan membawa Nabi Muhammad SAW dan kitab sucinya yaitu Al-Quran yang
nantinya menjadi pedoman hidup seluruh manusia.
Referensi
Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers. Boulder, CO: Westview Press.
Hitti, P. K. (2002). History of the Arabs (10th ed.).
London: Macmillan.
Izutsu, T. (1966). Ethico-Religious Concepts in the
Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Rahman, F. (1979). Islam. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Watt, W. M. (1953). Muhammad at Mecca. Oxford: Oxford
University Press.

Komentar
Posting Komentar