Langsung ke konten utama

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga

Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai tersebar di akar rumput. PNI mendirikan sekolah rakyat dan kelompok-kelompok pemuda di kampung-kampung, Masyumi menggerakkan Baitul Mal dan pengajian, dan PKI melalui Barisan Tani Indonesia mengadakan kelas membaca dan menulis sekaligus membantu petani memperjuangkan hak atas tanah mereka. Organisasi buruh juga aktif mengadvokasi upah, jam kerja, dan kondisi pabrik. Semua ini dicatat oleh sejumlah peneliti seperti Herbert Feith (1962), Daniel Lev (1966), dan Robert Cribb (2000), yang menggambarkan betapa erat nya hubungan antara partai dan masyarakat pada masa itu. Partai bukan sekadar alat mencari suara dan dukungan saat pemilu saja, tetapi menjadi perpanjangan tangan rakyat dalam mengurus urusan hidup mereka sehari-hari.

Di lain sisi, rakyat pada masa itu tidak pasif dan apatis terhadap politik. Mereka terlibat secara aktif, berdiskusi, berdebat, dan merasa punya hak untuk menentukan arah negara. Mereka mengikuti rapat, membaca koran partai, memberikan masukan, bahkan berani mengkritik pimpinan. Mereka tahu bahwa masa depan negara tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan keikutsertaan mereka sendiri. Politik terasa dekat dan membumi karena partai benar-benar hadir dalam hidup mereka. Hubungan kedua unsur ini bersifat timbal balik, rakyat menghidupkan serta mendinamisir partai-partai, dan partai menguatkan serta memfasilitasi rakyat dengan kepentingannya (Dhakidae, 2003).

Sayangnya, hubungan hangat itu mulai terputus setelah Orde Baru berkuasa. Melalui proses depolitisasi yang panjang, masyarakat secara perlahan dijauhkan dari kehidupan politik. Kita diajarkan untuk percaya bahwa politik itu kotor, penuh dengan konflik internal, dan berbahaya bagi stabilitas negara. Akibat adanya stigma tersebut, tidak sedikit orang yang takut bergabung dengan partai politik karena khawatir dicap buruk oleh masyarakat. Banyak anak muda yang ingin terlibat justru mundur karena tekanan sosial yang tidak sedikit. Kita menjadi bangsa yang enggan mengakui bahwa politik adalah bagian dari kehidupan kita sendiri (Adam, 2004).

Namun pertanyaannya, apakah hubungan kedekatan antara rakyat dan partai seperti masa lalu itu masih mungkin kita hidupkan kembali? Jawabannya bukan hanya mungkin, tetapi sangat mungkin. Masyarakat Indonesia hari ini memiliki modal sosial yang besar, yaitu akses informasi yang luas, komunitas-komunitas kreatif, gerakan lingkungan dan perempuan yang semakin kuat, kelompok mahasiswa yang kritis, serta jejaring digital yang memudahkan diskusi. Potensi untuk menghidupkan kembali politik yang membumi sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana keberanian berpartai itu disusun ulang.

Harapan itu bisa dimulai dengan hal-hal kecil yang realistis. Partai bisa kembali turun ke masyarakat di luar musim pemilu, hadir di tengah persoalan warga, dan bukan sekadar membagikan kaus saat kampanye. Partai hari ini bisa membantu UMKM mengembangkan usaha, mendampingi petani yang berhadapan dengan tengkulak, melindungi buruh ojek online yang tidak punya jaminan kerja, atau mengawal pelayanan publik di tingkat desa. Pada saat yang sama, masyarakat, terutama anak muda bisa mulai membangun ruang-ruang kecil untuk belajar politik. Forum warga, kelas literasi politik, kelompok baca, atau komunitas advokasi di tingkatan lokal adalah pintu masuk bagi rakyat untuk kembali merasakan bahwa politik adalah milik mereka juga (Mujani, 2007).

Yang terpenting adalah mengubah cara pandang kita sendiri. Berpartai bukan berarti kehilangan idealisme. Berpartai justru cara merawat idealisme dalam ruang yang lebih luas. Politik tidak kotor dengan sendirinya, politik hanya menjadi kotor ketika rakyat memilih diam dan membiarkan kekuasaan dipegang oleh segelintir orang saja. Jika generasi sebelum kita bisa membangun hubungan erat antara rakyat dan partai, maka generasi hari ini pun bisa. Bentuknya mungkin berbeda, caranya mungkin berubah, tetapi semangatnya tetap sama, yakni politik adalah kerja-kerja kolektif dalam mewujudkan kesejahteraan, bukan sekadar perebutan jabatan para elite saja (Maarif, 1987).

Maka ketika ada orang bertanya, “Apakah salah ketika saya berpartai dan menunjukkan identitas sebagai kader partai?”, jawabannya adalah TIDAK. Tidak salah sama sekali. Yang salah adalah ketika kita menyerahkan politik sepenuhnya kepada mereka yang punya uang dan kuasa, tetapi tidak memiliki keahlian dan kepentingan mensejahterakan rakyat. Yang salah adalah ketika kita membiarkan partai menjadi jauh dari kehidupan rakyat. Yang salah adalah ketika kita berhenti percaya bahwa bangsa ini bisa berubah lebih baik, karena sejarah pernah membuktikan bahwa rakyat Indonesia dulu mampu melakukannya. Jika dulu rakyat membangun partai dengan tangan mereka sendiri, hari ini pun kita bisa membangun politik yang kembali jujur, dekat dengan rakyat dan berpihak pada kehidupan kita sehari-hari. Perubahan selalu dimulai oleh sekelompok kecil orang yang berani mengambil tantangannya. Mungkin langkah itu bisa dimulai dari diri kita.


Rujukan Ilmiah:

Adam, A. W. (2004). Pelurusan sejarah Indonesia. Ombak.

Anderson, Benedict. Java in a Time of Revolution. Cornell University Press, 1972.

Cribb, Robert. Political Systems in Southeast Asia. Routledge, 2000.

Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia.

Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press, 1962.

Lev, Daniel S. The Transition to Guided Democracy. Cornell Modern Indonesia Project, 1966.

Maarif, A. S. (1987). Islam dan politik di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. LP3ES.

Mujani, S. (2007). Muslim demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia. Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil? Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat , yakni  proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran. Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik ...

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...