Langsung ke konten utama

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat


Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat


Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD

Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil?

Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil

Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat, yakni proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran.

Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik praktis dan urusan pemerintahan. Dwifungsi ABRI dihapuskan. Namun dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan apa yang bisa disebut sebagai “kembalinya militer melalui pintu pembangunan”. Pelibatan TNI dalam proyek-proyek infrastruktur, pengamanan investasi strategis, hingga urusan pertanian dan pangan adalah sebagian kecil dari pola ini.

Dalam istilah sosiolog Achille Mbembe, yang relevan di sini adalah munculnya “formasi kekuasaan pascamiliteristik”: militer tidak selalu beroperasi melalui represi keras, tetapi melalui integrasi halus dalam struktur sosial dan ekonomi, menjelma menjadi aktor pembangunan, kemanusiaan, bahkan pendidikan. Dengan kata lain, tentara tak lagi datang dengan senjata, tapi dengan sendok dan nasi kotak.

Apa akibatnya? Rakyat secara perlahan menerima bahwa tentara bukan sekadar penjaga keamanan, tetapi penyedia layanan sosial. Batas antara sipil dan militer kabur. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, batas ini justru harus dijaga secara tegas. Negara demokratis hidup dari partisipasi warga, bukan dari kepatuhan terhadap komando.

Kita juga bisa membaca ini dalam kerangka pemikiran Gramsci, di mana militer tidak hanya memaksakan kuasa secara koersif, tapi juga membangun hegemoni melalui peran sosial dan budaya. Tentara masuk ke dapur-dapur sekolah, ke kampung-kampung, dan ke layar-layar televisi sebagai “pahlawan sosial”. Ini menciptakan legitimasi baru, dan mengikis daya kritis masyarakat terhadap peran militer dalam demokrasi.

Lebih dari itu, negara justru semakin menggantungkan diri pada militer untuk mengisi kekosongan kapasitas birokrasi sipil. Dalam jangka pendek, ini mungkin terlihat “efisien”. Tapi dalam jangka panjang, ini adalah bentuk regresi politik, di mana logika sipil digantikan oleh logika militer, yaitu disiplin, komando, dan hierarki.

Normalisasi seperti ini sangat berbahaya karena ia terjadi secara senyap. Tidak melalui kudeta, tapi melalui “bantuan”. Tidak lewat tank, tapi lewat kotak nasi. Rakyat tidak sadar bahwa wilayah hidupnya sedang dikontrol oleh institusi yang seharusnya dibatasi dalam negara demokratis.

Mengaburkan Masalah Struktural

Program Makan Bergizi Gratis, dalam retorika resmi negara, diklaim sebagai solusi atas persoalan stunting dan kekurangan gizi anak-anak Indonesia. Namun di balik retorika kesejahteraan itu, negara sebenarnya sedang memainkan taktik lama: menambal krisis struktural dengan solusi karitatif (belas kasih).

Padahal, stunting bukanlah persoalan teknis yang bisa diselesaikan dengan mendistribusikan makanan siap saji. Ia merupakan manifestasi dari ketimpangan struktural yang akut: tanah dikuasai segelintir elit, akses terhadap pangan berkualitas bergantung pada pasar yang semakin dikendalikan korporasi, sementara kelas pekerja dan petani kehilangan kontrol atas alat produksi.

Ketika pemerintah memilih solusi instan berupa bantuan makanan, sesungguhnya negara sedang mengalihkan perhatian publik dari pertanyaan-pertanyaan sistemik:

  • Mengapa petani tidak bisa makan dengan cukup dari hasil lahannya sendiri?

  • Mengapa pasar lokal dikalahkan oleh produk ultraprocessed dari para konglomerat pangan?

  • Mengapa desa, sebagai basis produksi pangan, justru menjadi tempat terjadinya stunting dan gizi buruk pada anak?

Dalam bahasa Nancy Fraser, ini adalah strategi “reifikasi”, yaitu pemerintah memandang krisis sebagai masalah sosial yang berdiri sendiri, terpisah dari akar relasi kekuasaan dan ekonomi politik. Hasilnya: respons yang diberikan bersifat teknokratis, top-down, dan mengabaikan dimensi redistributif.

Lebih parah lagi, program semacam ini seringkali menyingkirkan inisiatif rakyat. Di banyak wilayah, masyarakat, terutama di pedesaan sudah memiliki sistem berupa gotong royong, kelompok tani, hingga koperasi. Namun logika program negara hari ini justru menggantikan inisiatif tersebut dengan sistem distribusi vertikal, yang rawan korupsi dan menjadikan rakyat hanya sebagai penerima.

Di titik ini, kita menyaksikan bagaimana solusi semu dibungkus dengan narasi nasionalisme dan kemanusiaan, padahal yang berlangsung adalah pelanggengan status quo. Negara menghindari redistribusi tanah, tidak menyentuh monopoli pasar pangan, dan tidak menantang relasi produksi yang eksploitatif. Sebaliknya, negara memilih jalan depolitisasi, membuat rakyat kenyang tanpa bertanya dari mana kelaparan berasal.

Program semacam ini bukan hanya gagal menyelesaikan masalah, tapi justru memperkuat akar krisisnya, yaitu mencabut agensi rakyat, menumpulkan kritik sosial, dan memperkuat dominasi negara serta korporasi atas urusan paling mendasar dalam hidup manusia, yaitu makan.

TNI membagikan makanan mungkin tampak sebagai hal sepele, bahkan baik. Tapi di baliknya, ada pergeseran besar dalam politik ketahanan rakyat. Jika urusan makan pun diserahkan kepada militer, maka demokrasi kita sedang lapar. Bukan hanya lapar makanan, tapi lapar keberanian untuk mempercayai rakyat sebagai penentu masa depannya sendiri.

Daftar Pustaka

Mbembe, Achille. (2001). On the Postcolony. University of California Press.

Gramsci, Antonio. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Fraser, Nancy. (2009). Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World. Columbia University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai terse...