Langsung ke konten utama

Orang Yang Mengerti Bahasa Pasti Akan Membela Mati-Matian Pernyataan Budi Arie, Salah Satunya adalah Saya

Orang Yang Mengerti Bahasa Pasti Akan Membela Mati-Matian Pernyataan Budi Arie, Salah Satunya adalah Saya

Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2025

Istilah “projo” belakangan kembali menjadi perbincangan setelah Budi Arie Setia, Ketua Umum PROJO, dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa kata tersebut bermakna "rakyat" dalam bahasa Jawa Kawi. Banyak pihak kemudian menilai pernyataan itu sebagai klaim politis saja dan upaya untuk melunturkan citra "Pro-Jokowi" pada organisasi PROJO. Namun, kalau boleh jujur, jika kita tinjau dengan pendekatan filologi dan linguistik historis, pernyataan Budi Arie justru tepat secara ilmiah. Kata projo memiliki akar yang sangat tua dalam tradisi bahasa Jawa dan Sanskerta, dan makna dasarnya sebagai “rakyat” telah terdokumentasi sejak abad ke-8 hingga ke-10 M. Dengan kata lain, apa yang dikatakan Budi Arie bukanlah sebuah kebohongan maupun pemaknaan baru, melainkan fakta bahasa yang telah dibuktikan oleh penelitian dan pengamatan pada beberapa prasasti kuno.

Secara etimologis, kata projo berasal dari bentuk Sanskerta "praja (प्रजा)" yang berarti rakyat, penduduk, atau subjek kerajaan. Dalam A Sanskrit–English Dictionary karya Monier-Williams (1899), praja didefinisikan sebagai people, population, subjects. Ketika bahasa Sanskerta dibawa ke daerah Nusantara melalui interaksi keagamaan Hindu-Buddha dan ekspansi kerajaan-kerajaannya, banyak kosakata yang diserap dan disesuaikan ke dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi). Dalam proses adaptasi fonetik itu, praja berubah menjadi praja, proja, atau projo, sebagaimana dicatat oleh P.J. Zoetmulder dalam Old Javanese–English Dictionary (1982). Zoetmulder secara eksplisit menuliskan bahwa praja/projo berarti “inhabitants, people, subjects”, yang tidak lain didefinisikan sebagai rakyat.

Makna ini tidak hanya tersimpan dalam kamus, tetapi juga hidup dalam prasasti Jawa Kuno yang berfungsi sebagai dokumen administratif kerajaan. Salah satu contoh paling jelas adalah Prasasti Wanua Tengah III dari abad ke-9 M. Di dalamnya terdapat kalimat “han saprajan iṅ wanua …” yang diterjemahkan sebagai “seluruh rakyat di desa …” (Boechari, 2012). Penggunaan kata prajan dalam konteks itu menunjukkan bahwa istilah tersebut merujuk pada penduduk dan masyarakat umum, bukan pejabat atau bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa projo/praja sejak masa Mataram Kuno memang dipahami sebagai sebutan bagi rakyat jelata. Bukti-bukti serupa dapat ditemukan dalam prasasti Taji Gunung (901 M), Kaladi (909 M), dan sejumlah prasasti lain yang memperlihatkan konsistensi makna kata tersebut.

Ketika masuk ke masa Jawa Baru, makna projo mengalami perkembangan, tetapi inti semantiknya tetap bertahan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa mengenal istilah wong projo yang berarti rakyat kecil atau orang kebanyakan. Pada urusan-urusan administratif, istilah tanah projo merujuk pada tanah negara, sementara pada masa kolonial dan awal Republik Indonesia, istilah Departemen Praja digunakan untuk menyebut Kementerian Dalam Negeri. Perkembangan ini menunjukkan adanya perluasan makna, tetapi tetap berangkat dari gagasan bahwa projo/praja berkaitan dengan rakyat dan wilayah yang mereka tempati. Dengan demikian, istilah projo secara kultural dan historis memang diasosiasikan dengan masyarakat luas, bukan elite atau penguasa.

Melihat rangkaian bukti linguistik dan historis tersebut, menjadi jelas bahwa pernyataan Budi Arie Setiadi bahwa “projo berarti rakyat dalam bahasa Jawa Kawi” bukanlah klaim politis belaka dan upaya membohongi publik. Pernyataan itu justru selaras dengan kesimpulan para filolog dan epigraf seperti Zoetmulder, Damais, Boechari, hingga Robson & Wibisono. Semua otoritas akademik tersebut sepakat bahwa praja/projo berarti people, inhabitants, atau subjects. Penggunaan nama “PROJO” sebagai organisasi yang mengatasnamakan massa rakyat bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi memiliki dasar historis dan linguistik yang kuat.

Karena itu, membela pernyataan Budi Arie bukanlah soal berpihak pada tokoh tertentu, tetapi soal menegakkan fakta bahasa yang telah teruji oleh abad-abad sejarah. Jika ada pihak yang mengatakan bahwa “projo tidak berarti rakyat”, maka sebenarnya mereka sedang berhadapan dengan kamus Sanskerta, kamus Jawa Kuno, prasasti abad ke-9, dan seluruh tradisi filologi Jawa. Maka Saya adalah orang yang akan membela pernyataan Budi Arie mati-matian, jika masih ada yang menentang argumentasi darinya.


Referensi:

Boechari. (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. KPG.

Monier-Williams, M. (1899). A Sanskrit–English Dictionary. Oxford University Press.

Zoetmulder, P. J. (1974). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Djambatan.

Zoetmulder, P. J. (1982). Old Javanese–English Dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil? Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat , yakni  proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran. Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik ...

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai terse...