Langsung ke konten utama

Ketika Penindas Disebut Pahlawan, Wujud Tertinggi Impunitas di Negeri Ini

Ketika Penindas Disebut Pahlawan, Wujud Tertinggi Impunitas di Negeri Ini

Ditulis Oleh Mohammad Nayaka Rama Yoga

Negara kembali mempermainkan ingatan kita. Di tengah luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh, di tengah tuntutan reformasi yang sampai saat ini tidak pernah terwujud, pemerintah pada hari ini justru mengumumkan sebuah berita yang maha ngawur. Soeharto diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah keputusan yang bukan hanya absurd, tetapi juga menjadi perwujud maha dahsyat dari impunitas yang telah mengakar dalam tubuh republik ini. Betapa ironisnya negara ini, di mana seorang penguasa yang telah menuangkan banjir darah genosida, korupsi, dan merepresi rakyatnya, kini diangkat sejajar dengan  para pahlawan yang sudah berjuang dengan nyawa dan harta demi rakyat Indonesia. Seolah-olah sejarah dapat diputihkan hanya dengan piagam penghargaan dan upacara penghormatan.

Pemberian gelar ini adalah suatu perayaan terhadap bangsa kita yang pelupa. Peristiwa ini menampar wajah para korban pelanggaran HAM yang selama puluhan tahun menanti pengakuan dan keadilan. Di bawah bayang-bayang Orde Baru, ratusan ribu orang dibungkam, ditahan tanpa pengadilan, disiksa, bahkan dibunuh. Tragedi demi tragedi terjadi, dimulai dari tragedi 1965, Talangsari, Aceh, Timor Timur, hingga Papua. Tetapi hari ini, pelaku utama sistem kekuasaan itu justru disucikan oleh negara yang dulu berjanji menegakkan reformasi. Ini bukan sekadar penghinan terhadap sila kemanusiaan yang adil dan beradab, melainkan sebuah pembodohan dan upaya penghapusan ingatan anak bangsa di masa depan.

Inilah wajah impunitas dalam bentuk yang paling vulgar di abad ini: ketika kejahatan dijadikan dasar sebuah kebijakan, dan kebijakan diabadikan sebagai jasa. Negara tidak pernah benar-benar berniat mengadili masa lalunya. Negara hanya menundanya, menumpuknya dalam berkas-berkas arsip, lalu memutihkannya dengan simbol “pahlawan”. Pemberian gelar ini membuktikan bahwa negara kita lebih takut pada kejujuran daripada pada kekejaman. Sebab mengakui kesalahan berarti membuka kembali luka, dan membuka luka berarti membongkar fondasi kekuasaan yang masih diwarisi dari masa Orde Baru itu sendiri.

Gelar pahlawan bagi Soeharto bukan hanya penghinaan luar biasa terhadap para korban, tapi juga pernyataan resmi bahwa negara tidak pernah melakukan taubatan nasuha dari peristiwa reformasi 98. Reformasi yang dulu telah menumbangkan rezim orde baru kini malah lebih tampak bak lelucon politik. Reformasi di zaman itu hanya sekadar pergantian pemain seperi dalam pertandingan sepak bola, bukan perubahan sistem yang terstruktur dan masif. Apa yang tersisa dari semangat 98 ketika simbol otoritarianisme malah dielu-elukan di istana? Slogan seperti Penak Zamanku Toooh, menjadi bukti bahwa oligarki masih berkuasa, hanya berganti wajah sahaja. Para Buzzer istana saat ini sedang berlomba-lomba menjual nostalgia stabilitas, menyamarkan tekanan pada rakyat sebagai ketertiban, dan menukar keadilan bersama dengan indeks pertumbuhan dan pembangunan.

Pahlawan macam apa yang melahirkan generasi yang takut berekspresi? Yang membungkam suara rakyat, menutup mulut pers serapat-rapatnya, dan membangun ekonomi di atas penderitaan rakyat kecil? Jika keberhasilan diukur dari beton dan jalan tol, maka barangkali mesin pun bisa disebut pahlawan. Tetapi pahlawan sejati tidak pernah menindas bangsanya sendiri. Dirinya tidak perlu mengorbankan darah rakyat untuk membangun istana yang megah. Soeharto bukanlah pahlawan. Ia adalah perwujudan dari Monas yang ujung atasnya berlumuran darah dari dosa politiknya yang belum sempat ditebus sampai akhir hayatnya.

Kita sedang hidup di masa di mana sejarah dijungkirbalikkan demi citra baik para penguasa. Negara ingin menulis ulang masa lalu agar generasi muda percaya bahwa sikap seorang pemimpin yang menjadi tirani dan diktator adalah suatu pengorbanan demi kemajuan bangsa ini. Mereka ingin mengganti memori yang berisikan luka dengan sebuah kebanggaan yang penuh kepalsuan, seolah-olah pembangunan yang diadakan ole negara ini dapat menebus kemanusiaan yang tidak terhitung harganya. Inilah bahaya paling nyata dari impunitas. Bukan hanya melindungi pelaku dari kesalahannya di masa lalu, tetapi juga menciptakan generasi yang lupa bagaimana rasanya ditindas.

Maka menolak gelar pahlawan yang disematkan pada Soeharto bukan sekadar urusan moral, tetapi upaya menyelamatkan ingatan bangsa dari kelupaan yang sering menimpa manusia Indonesia. Perlawanan terhadap upaya penyucian dosa kekuasaan. Kita tidak sedang menolak apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi kita sedang menolak pembohongan massal. Negara boleh menempelkan cap “pahlawan” di batu nisan Soeharto, tapi Negara tidak bisa menempelkan kebenaran di hati rakyat yang tahu betul siapa itu Soeharto.

Sejarah tidak bisa dibersihkan dengan sebuah penghargaan. Ia hanya bisa disembuhkan dengan kejujuran dan keberanian untuk menuntut keadilan. Maka, jika hari ini Soeharto dijadikan pahlawan, biarlah rakyat yang menjadi pengingat bahwa keadilan belum mati. Karena selama kita masih berani melawan lupa, impunitas tidak akan pernah menang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil? Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat , yakni  proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran. Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik ...

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai terse...