Pemberian gelar ini adalah suatu perayaan terhadap bangsa kita yang pelupa. Peristiwa ini menampar wajah para korban pelanggaran HAM yang selama puluhan tahun menanti pengakuan dan keadilan. Di bawah bayang-bayang Orde Baru, ratusan ribu orang dibungkam, ditahan tanpa pengadilan, disiksa, bahkan dibunuh. Tragedi demi tragedi terjadi, dimulai dari tragedi 1965, Talangsari, Aceh, Timor Timur, hingga Papua. Tetapi hari ini, pelaku utama sistem kekuasaan itu justru disucikan oleh negara yang dulu berjanji menegakkan reformasi. Ini bukan sekadar penghinan terhadap sila kemanusiaan yang adil dan beradab, melainkan sebuah pembodohan dan upaya penghapusan ingatan anak bangsa di masa depan.
Inilah wajah impunitas dalam bentuk yang paling vulgar di abad ini: ketika kejahatan dijadikan dasar sebuah kebijakan, dan kebijakan diabadikan sebagai jasa. Negara tidak pernah benar-benar berniat mengadili masa lalunya. Negara hanya menundanya, menumpuknya dalam berkas-berkas arsip, lalu memutihkannya dengan simbol “pahlawan”. Pemberian gelar ini membuktikan bahwa negara kita lebih takut pada kejujuran daripada pada kekejaman. Sebab mengakui kesalahan berarti membuka kembali luka, dan membuka luka berarti membongkar fondasi kekuasaan yang masih diwarisi dari masa Orde Baru itu sendiri.
Gelar pahlawan bagi Soeharto bukan hanya penghinaan luar biasa terhadap para korban, tapi juga pernyataan resmi bahwa negara tidak pernah melakukan taubatan nasuha dari peristiwa reformasi 98. Reformasi yang dulu telah menumbangkan rezim orde baru kini malah lebih tampak bak lelucon politik. Reformasi di zaman itu hanya sekadar pergantian pemain seperi dalam pertandingan sepak bola, bukan perubahan sistem yang terstruktur dan masif. Apa yang tersisa dari semangat 98 ketika simbol otoritarianisme malah dielu-elukan di istana? Slogan seperti Penak Zamanku Toooh, menjadi bukti bahwa oligarki masih berkuasa, hanya berganti wajah sahaja. Para Buzzer istana saat ini sedang berlomba-lomba menjual nostalgia stabilitas, menyamarkan tekanan pada rakyat sebagai ketertiban, dan menukar keadilan bersama dengan indeks pertumbuhan dan pembangunan.
Pahlawan macam apa yang melahirkan generasi yang takut berekspresi? Yang membungkam suara rakyat, menutup mulut pers serapat-rapatnya, dan membangun ekonomi di atas penderitaan rakyat kecil? Jika keberhasilan diukur dari beton dan jalan tol, maka barangkali mesin pun bisa disebut pahlawan. Tetapi pahlawan sejati tidak pernah menindas bangsanya sendiri. Dirinya tidak perlu mengorbankan darah rakyat untuk membangun istana yang megah. Soeharto bukanlah pahlawan. Ia adalah perwujudan dari Monas yang ujung atasnya berlumuran darah dari dosa politiknya yang belum sempat ditebus sampai akhir hayatnya.
Kita sedang hidup di masa di mana sejarah dijungkirbalikkan demi citra baik para penguasa. Negara ingin menulis ulang masa lalu agar generasi muda percaya bahwa sikap seorang pemimpin yang menjadi tirani dan diktator adalah suatu pengorbanan demi kemajuan bangsa ini. Mereka ingin mengganti memori yang berisikan luka dengan sebuah kebanggaan yang penuh kepalsuan, seolah-olah pembangunan yang diadakan ole negara ini dapat menebus kemanusiaan yang tidak terhitung harganya. Inilah bahaya paling nyata dari impunitas. Bukan hanya melindungi pelaku dari kesalahannya di masa lalu, tetapi juga menciptakan generasi yang lupa bagaimana rasanya ditindas.
Maka menolak gelar pahlawan yang disematkan pada Soeharto bukan sekadar urusan moral, tetapi upaya menyelamatkan ingatan bangsa dari kelupaan yang sering menimpa manusia Indonesia. Perlawanan terhadap upaya penyucian dosa kekuasaan. Kita tidak sedang menolak apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi kita sedang menolak pembohongan massal. Negara boleh menempelkan cap “pahlawan” di batu nisan Soeharto, tapi Negara tidak bisa menempelkan kebenaran di hati rakyat yang tahu betul siapa itu Soeharto.
Sejarah tidak bisa dibersihkan dengan sebuah penghargaan. Ia hanya bisa disembuhkan dengan kejujuran dan keberanian untuk menuntut keadilan. Maka, jika hari ini Soeharto dijadikan pahlawan, biarlah rakyat yang menjadi pengingat bahwa keadilan belum mati. Karena selama kita masih berani melawan lupa, impunitas tidak akan pernah menang.
Komentar
Posting Komentar