Pernah nggak sih kamu merasa pesan yang kamu sampaikan disalahpahami orang lain? Atau melihat dua orang berbicara hal yang sama, tapi dampaknya bisa berbeda karena status sosial atau gaya bicaranya? Ternyata, komunikasi bukan cuma soal kata-kata. Komunikasi juga dipengaruhi oleh siapa yang bicara, kepada siapa, dalam situasi apa, dan dengan tujuan apa. Di sinilah sosiologi komunikasi menjadi penting, karena di cabang ilmu sosiologi ini, kita diajarkan bahwa komunikasi itu bukan sekadar bertukar pesan, tapi bagian dari dinamika sosial yang kompleks.
Sosiologi komunikasi adalah cabang ilmu sosiologi yang mempelajari bagaimana komunikasi terjadi dalam konteks sosial. Artinya, ia tidak hanya tertarik pada “apa yang dikatakan”, tapi juga bagaimana, mengapa, dan dalam struktur sosial seperti apa komunikasi itu terjadi. Jadi, ketika seseorang bicara, bukan hanya isi pesannya yang penting, tapi juga siapa dia, latar belakangnya, dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Di sini, komunikasi bukan lagi sesuatu yang netral. Ia bisa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, membangun relasi, menyampaikan identitas, atau bahkan menciptakan kesenjangan.
Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi sering kali menjadi cermin dari relasi sosial. Misalnya, cara kita bicara dengan atasan tentu berbeda dengan cara kita berbicara dengan teman sebaya. Bahasa yang kita pakai, intonasi, bahkan pilihan kata, semuanya dipengaruhi oleh posisi kita dalam struktur sosial. Ketika seorang pejabat berbicara, kata-katanya bisa dianggap pernyataan penting. Tapi kalau orang biasa mengatakan hal yang sama, belum tentu dianggap serius. Ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berhubungan dengan status, kelas, dan kekuasaan.
Tak hanya itu, komunikasi juga mencerminkan nilai, norma, dan budaya masyarakat. Misalnya, di budaya kolektif seperti Indonesia, komunikasi cenderung tidak langsung, penuh kode, sindiran halus, dan menjaga perasaan. Ini berbeda dengan budaya individualis yang lebih blak-blakan. Di sinilah sosiologi komunikasi membantu kita memahami bahwa cara kita bicara dan berkomunikasi dibentuk oleh lingkungan sosial kita, bukan sekadar pilihan pribadi.
Era digital juga membawa tantangan baru dalam komunikasi. Sekarang, kita bisa berbicara dengan banyak orang sekaligus lewat media sosial. Tapi komunikasi digital ini juga membentuk struktur sosial baru: siapa yang punya banyak pengikut dianggap lebih “berpengaruh”, siapa yang viral punya kuasa membentuk opini. Di balik layar ponsel, komunikasi tetap menyimpan unsur sosial: siapa yang didengar, siapa yang dibungkam, siapa yang dipercaya, dan siapa yang diabaikan.
Maka, memahami sosiologi komunikasi bukan hanya soal jadi pintar berbicara, tapi juga paham bagaimana komunikasi bisa memperkuat atau mengubah relasi sosial. Ia mengajarkan kita untuk lebih sadar bahwa kata-kata bisa menjadi alat membangun solidaritas, tapi juga bisa jadi senjata membungkam. Ia membuat kita lebih peka pada siapa yang punya akses untuk berbicara, siapa yang dikendalikan oleh narasi dominan, dan bagaimana informasi bisa membentuk realitas sosial.
Akhirnya, lewat sosiologi komunikasi, kita diajak untuk tidak sekadar menjadi pendengar atau pembicara yang baik, tapi juga menjadi warga yang kritis terhadap pesan-pesan yang beredar di sekitar kita. Karena dalam masyarakat modern yang penuh dengan informasi, yang terpenting bukan hanya siapa yang bicara, tapi juga untuk siapa dan dalam kepentingan apa ia berbicara.
Penulis: Mohammad Nayaka Rama Yoga

Komentar
Posting Komentar