Langsung ke konten utama

Sosiologi Hukum: Ketika Hukum Tidak Lagi Soal Pasal Saja

Kalau mendengar kata “hukum”, kebanyakan orang langsung membayangkan hal-hal yang serius: undang-undang, polisi, sidang pengadilan, atau hakim dengan palunya. Wajar sih, karena hukum sering dianggap urusannya orang-orang yang belajar hukum saja. Tapi pernahkah kita berpikir, kenapa ada orang yang dihukum berat karena mencuri, sementara yang korupsi bisa tetap tersenyum di layar TV? Atau kenapa ada aturan yang cepat banget disahkan, tapi ada juga yang bertahun-tahun tak kunjung ditegakkan? Nah, di sinilah kita butuh melihat hukum lewat cara pandang yang berbeda, bukan hanya sebagai aturan tertulis, tapi sebagai sesuatu yang hidup di tengah masyarakat. Itulah yang dipelajari dalam sosiologi hukum.

Sosiologi hukum adalah cabang ilmu sosiologi yang mempelajari bagaimana hukum bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak cuma bertanya soal apa isi pasal atau undang-undang, tapi juga bagaimana hukum dipahami, dijalankan, diabaikan, atau bahkan ditolak oleh masyarakat. Dalam pandangan ini, hukum tidak berdiri di atas awan, tapi berada di tengah kehidupan sosial, dipengaruhi oleh budaya, kekuasaan, ekonomi, dan relasi antar manusia. Artinya, hukum tidak selalu netral dan adil seperti yang kita bayangkan; ia bisa berpihak, bisa bias, tergantung siapa yang membuat dan menjalankannya.

Coba perhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa pedagang kaki lima sering ditertibkan, padahal mereka hanya mencoba bertahan hidup? Kenapa masyarakat adat kadang harus berjuang keras agar tanah mereka diakui secara hukum? Atau kenapa hukum terasa keras untuk rakyat kecil, tapi longgar untuk orang-orang berkuasa? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan membaca buku hukum. Kita perlu memahami konteks sosial, sejarah, dan dinamika kekuasaan di balik aturan-aturan tersebut. Di sinilah sosiologi hukum menawarkan lensa baru: hukum tidak bisa dilepaskan dari siapa yang membuatnya, untuk siapa, dan dalam kondisi sosial seperti apa.

Sosiologi hukum juga menunjukkan bahwa banyak kebijakan hukum gagal karena tidak mengenal masyarakat yang menjadi sasarannya. Misalnya, aturan yang melarang berjualan di trotoar bisa jadi terlihat bagus di atas kertas, tapi bagaimana kalau para pedagang itu tidak punya tempat lain untuk mencari nafkah? Atau aturan lalu lintas yang dibuat tanpa mempertimbangkan buruknya transportasi umum? Jika pembuat hukum tidak memahami kondisi sosial masyarakat, maka aturan yang dibuat hanya akan menjadi tumpukan kertas yang sulit dijalankan. Pendekatan sosiologis justru membantu agar hukum menjadi lebih manusiawi, realistis, dan berdampak nyata.

Sosiologi hukum juga mengajak kita untuk tidak sekadar menjadi warga negara yang patuh hukum, tapi juga kritis terhadap hukum itu sendiri. Apakah hukum itu sudah adil? Apakah semua orang punya akses yang sama terhadap keadilan? Apakah hukum berpihak pada yang lemah atau justru melindungi yang kuat? Menjadi taat hukum penting, tapi lebih penting lagi adalah memahami bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan. Karena keadilan bukan hanya soal tertulis di undang-undang, tapi juga bagaimana ia dirasakan oleh masyarakat.

Pada akhirnya, hukum adalah bagian dari kehidupan kita. Ia bukan sesuatu yang jauh atau asing. Kita berinteraksi dengan hukum setiap hari, mulai dari aturan lalu lintas, hak atas pendidikan, hingga perlindungan dalam pekerjaan. Oleh karena itu, memahami hukum sebagai bagian dari realitas sosial adalah langkah penting agar kita bisa ikut membangun masyarakat yang lebih adil. Lewat sosiologi hukum, kita belajar bahwa hukum tidak cukup hanya ditegakkan, tapi juga harus dipertanyakan, dikritisi, dan disesuaikan dengan nilai-nilai kemanusiaan. 

Penulis : Mohammad Nayaka Rama Yoga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil? Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat , yakni  proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran. Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik ...

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai terse...