Penulis : Mohammad Nayaka Rama Yoga
Politik Hari Ini Penuh dengan Riuh Keramaian Tapi Sepi dengan Gagasan
Kalau kita perhatikan, politik di Indonesia hari-hari ini memang rame banget. Media sosial penuh dengan potongan video politisi saling sindir, perang tagar tiap minggu, dan konten yang niat banget dibuat biar viral. Sekilas, politik kita tampak hidup. Tapi kalau dicermati lebih dalam, yang rame itu lebih banyak soal gaya, bukan isi. Kita jarang banget dengar politisi ngomongin gagasan. Misalnya, waktu Pemilu 2024 kemarin, banyak calon sibuk tampil di TikTok, bikin podcast, atau hadir di acara-acara hiburan. Tapi berapa banyak yang betul-betul menjelaskan rencana jangka panjangnya untuk pendidikan, lapangan kerja, atau soal harga pangan? Gagasan sering kali cuma disinggung sekilas, lalu diganti dengan janji-janji umum yang enak didengar tapi nggak jelas bagaimana caranya.
Ini bukan cuma kesan pribadi. Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pernah merilis data bahwa 65% pemilih muda memilih berdasarkan kesan pribadi terhadap tokoh, bukan karena program atau visi partai. Jadi, banyak anak muda tertarik karena figur kelihatan keren, relatable, atau lucu di medsos—bukan karena mereka paham apa yang diperjuangkan. Dan ini jadi masalah serius kalau terus dibiarkan. Di lapangan, situasinya juga sama. Saya sendiri pernah beberapa kali ikut turun saat masa kampanye atau kegiatan politik lainnya. Yang dibawa sering kali adalah panggung hiburan, kaos gratis, dan kata-kata motivasi. Tapi kapan terakhir kita lihat politisi duduk ngobrol serius sama warga soal solusi krisis air bersih, soal stunting, atau kenapa kualitas sekolah di desa-desa masih timpang? Hampir nggak ada. Padahal itu hal-hal yang benar-benar menyentuh hidup masyarakat.
Hal yang lebih miris, banyak partai juga tidak lagi menjadikan pemikiran atau riset kebijakan sebagai kekuatan utama mereka. Padahal dulu, partai politik itu pusatnya ide dan pemikiran besar. Tapi sekarang, sebagian besar hanya aktif menjelang pemilu—sisanya sunyi, terutama ketika harus bicara data, solusi, dan rancangan jangka panjang. Akhirnya, politik kita jadi semacam panggung hiburan: penuh lampu, penuh sorak, tapi kosong arah. Yang muncul ke permukaan adalah sensasi, bukan substansi.
Buat kita yang muda, ini sebetulnya alarm keras. Karena kalau arah politik hanya ditentukan oleh siapa yang paling viral atau siapa yang paling heboh, maka kita akan kehilangan kemampuan buat berpikir jernih. Lama-lama, kita terbiasa memilih karena perasaan, bukan pertimbangan. Dan justru di sinilah pentingnya kita mulai bicara soal gagasan. Politik itu seharusnya bukan cuma soal siapa yang populer, tapi apa yang dia perjuangkan. Bukan cuma soal hadir di layar HP kita, tapi soal visi jangka panjang untuk memperbaiki hidup banyak orang. Kalau politik terus begini, kita bisa punya demokrasi yang meriah tapi kosong. Dan itu bahaya. Karena suara kita akan terus dicari lima tahun sekali, tapi kebutuhan kita nggak pernah sungguh-sungguh dibicarakan.
Polarisasi Bikin Politik Kehilangan Akal Sehat
Salah satu alasan kenapa politik kita makin jauh dari isi adalah karena kita sedang terjebak dalam yang namanya polarisasi. Singkatnya, semua hal dibelah jadi dua: kalau bukan “kami”, berarti “mereka”. Kalau kamu nggak dukung tokoh A, berarti kamu pasti pendukung B. Kalau kamu nggak setuju dengan kebijakan ini, berarti kamu dianggap benci negara. Padahal kenyataannya nggak sesederhana itu. Polarisasi bikin kita malas berpikir. Bukan karena kita nggak mampu, tapi karena kita dibiasakan untuk menyederhanakan yang rumit jadi soal “siapa lawan siapa”. Akhirnya, banyak orang jadi ogah menimbang gagasan. Yang penting siapa yang bicara, bukan apa yang dia katakan. Kalau yang ngomong itu “orang kita”, langsung kita setuju. Tapi kalau datang dari “kubu sebelah”, meskipun masuk akal, langsung ditolak mentah-mentah.
Coba perhatikan debat-debat di media sosial atau acara politik di TV. Gaya bicaranya sering emosional, penuh curiga, dan saling serang personal. Bukannya saling menyanggah pakai data atau argumen, malah lebih sering saling menjatuhkan nama baik. Ini bukan debat politik, ini lebih mirip adu gengsi. Padahal inti dari politik itu justru ruang untuk berdialog dan bertukar ide. Bahkan di antara teman sebaya, polarisasi ini terasa. Banyak dari kita merasa nggak bebas menyampaikan pandangan politik karena takut langsung dilabeli: “lu cebong,” “lu kampret,” atau yang terbaru: “lu barisan sakit hati,” “lu fanatik”. Label-label itu bukan cuma mematikan percakapan, tapi juga mematikan kemampuan kita untuk mendengarkan dan mempertimbangkan hal baru.
Yang paling berbahaya, polarisasi ini justru dimanfaatkan oleh elite. Mereka tahu, kalau publik terus dibelah dua, maka mereka bisa bermain aman. Nggak perlu repot kasih ide atau program, cukup tampil sebagai “wakil kelompok tertentu” dan mainkan emosi massa. Akhirnya, pemilu bukan lagi soal siapa yang punya visi terbaik, tapi siapa yang paling berhasil membakar semangat kelompoknya sendiri. Sebuah riset dari The Conversation Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 80% percakapan politik di media sosial selama masa kampanye lebih bersifat afektif (emosional) ketimbang substantif. Artinya, kita lebih banyak bicara soal “aku suka” atau “aku benci”, bukan “aku setuju karena...”.
Kalau ini terus dibiarkan, kita akan kehilangan akal sehat dalam politik. Kita akan lebih percaya hoaks daripada data. Kita akan lebih tertarik pada yang dramatis daripada yang solutif. Dan kita akan terus terjebak dalam lingkaran fanatisme, sambil membiarkan masalah-masalah nyata—seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan—tetap tak terpecahkan. Maka tugas kita hari ini bukan cuma menghindari polarisasi, tapi juga melawan budaya politik yang malas berpikir. Kita harus berani keluar dari kubu, dan mulai berdiri di ruang tengah: ruang untuk berdialog, untuk belajar, dan untuk mencari solusi bersama. Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan politik yang penuh kemarahan, tapi politik yang pakai akal sehat dan hati nurani.
Mengapa Gagasan Penting?
Pertanyaan ini sebenarnya sederhana, tapi jarang benar-benar dijawab secara jujur dalam dunia politik kita: mengapa sih kita harus bicara soal gagasan? Kenapa nggak fokus ke yang praktis-praktis aja? Bukannya rakyat cuma butuh makan, kerja, dan harga-harga stabil? Betul, kebutuhan dasar masyarakat memang nyata dan mendesak. Tapi justru karena itulah gagasan menjadi penting. Karena tanpa ide yang matang, program-program hanya akan jadi tambal sulam. Tanpa arah yang jelas, kebijakan jadi asal jalan, tanpa tahu mau ke mana.
Coba kita ingat: reformasi tahun 1998 bukan hanya soal turunnya seorang presiden. Itu adalah ekspresi dari gagasan tentang kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial. Anak muda turun ke jalan karena mereka percaya bahwa bangsa ini bisa lebih adil, lebih terbuka, lebih manusiawi. Kalau gerakan itu hanya soal kemarahan, ia akan padam. Tapi karena ada gagasan yang mengikat, perubahan bisa terjadi dan dikenang. Sayangnya, hari ini, politik sering kehilangan arah karena terlalu sibuk dengan pencitraan. Gagasan digeser oleh gimmick. Visi digantikan oleh viral. Banyak calon pejabat tampil dengan slogan-slogan manis, tapi ketika ditanya rencana konkret atau data pendukung, mereka kesulitan menjelaskan. Inilah akibatnya kalau politik tak punya kerangka berpikir.
Gagasan itu ibarat kompas. Ia tidak hanya menjawab “apa yang harus kita lakukan”, tapi juga “mengapa itu penting” dan “bagaimana melakukannya”. Tanpa gagasan, seorang pemimpin bisa terlihat aktif tapi sebenarnya hanya berputar-putar. Bikin proyek ini-itu, tapi tak menyentuh akar masalah. Bagi anak muda, ini jadi lebih penting lagi. Karena kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat, penuh informasi, tapi juga penuh kebingungan. Kalau kita tidak belajar membedakan antara wacana dan wacana kosong, antara solusi dan sensasi, maka kita akan mudah dimanipulasi. Ada juga alasan lain: gagasan membuat kita kritis dan merdeka. Ia mendorong kita untuk bertanya, tidak sekadar menerima. Ia membangun daya nalar, bukan sekadar daya dukung. Dan dalam jangka panjang, masyarakat yang kuat bukanlah masyarakat yang diam dan manut, tapi yang bisa berpikir dan berdebat.
Jadi, bicara gagasan bukan berarti bicara elitis. Bukan pula gaya-gayaan intelektual. Bicara gagasan adalah cara kita menjaga akal sehat dalam politik. Cara kita memastikan bahwa pemimpin yang kita pilih bukan cuma pintar tampil, tapi juga paham persoalan dan tahu jalan keluarnya. Karena politik bukan soal siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling kuat pikirannya. Dan gagasan adalah alat kita untuk melihat, menilai, dan berharap lebih dari politik.
Politik Bukan Sekadar Viral
Di era sekarang, kita hidup dalam dunia yang nyaris sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma. Apa yang muncul di layar kita—di Instagram, TikTok, X (Twitter), YouTube—bukan ditentukan oleh kualitas konten, tapi oleh seberapa banyak ia bisa menarik perhatian. Semakin cepat, semakin emosional, semakin dramatis, semakin besar peluangnya untuk viral. Sayangnya, logika ini juga mulai merasuki dunia politik. Banyak politisi dan partai sekarang lebih fokus “menjadi viral” daripada menyampaikan visi. Kampanye diformat seperti konten. Isu-isu penting dikemas dalam video pendek, quotes bombastis, atau joget-joget absurd yang lebih cocok di acara hiburan. Padahal kita semua tahu, mengelola negara tidak bisa dilakukan dalam durasi 30 detik.
Politik yang cuma mengincar viral itu berbahaya. Karena dia tidak lagi mendorong publik untuk berpikir, tapi hanya membuat orang bereaksi. Tidak ada ruang untuk menjelaskan konteks, menimbang pro-kontra, atau memetakan risiko. Yang penting lucu, menggelegar, dan ramai. Dan yang lebih gawat: politik viral sering mempromosikan ketokohan, bukan gagasan. Jadi yang naik ke permukaan adalah siapa yang paling pandai bermain di panggung, bukan siapa yang paling siap menyelesaikan persoalan. Ini membuat demokrasi kita seperti lomba popularitas tanpa isi.
Contohnya bisa kita lihat dalam banyak pemilu lokal. Kandidat yang dikenal lewat konten kreatif di media sosial bisa langsung melejit, meski pengalaman dan pengetahuan kebijakan masih tipis. Sementara mereka yang sudah bertahun-tahun kerja di lapangan, tapi tidak pandai tampil di kamera, justru tenggelam. Bukan berarti viral itu selalu buruk, tapi kalau itu jadi satu-satunya ukuran, maka kita sedang membangun politik yang rapuh. Dan publik pun lama-lama ikut terbiasa dengan politik semacam ini. Banyak orang malas membaca gagasan panjang, ogah ikut diskusi, atau merasa bosan kalau tidak ada drama. Ini bukan salah masyarakat semata, tapi karena terlalu lama dijejali gaya politik instan.
Maka pertanyaannya sekarang: apakah kita mau terus membiarkan politik kita ditentukan oleh algoritma, bukan oleh akal sehat? Di sinilah pentingnya kita, terutama anak muda, untuk menciptakan budaya politik baru. Kita bisa tetap pakai media sosial, tetap kreatif, tapi dengan cara yang lebih cerdas. Kita bisa bikin video pendek yang mencerahkan, bukan cuma menghibur. Kita bisa menulis thread yang memancing diskusi, bukan sekadar menyulut emosi. Karena politik seharusnya mengajak berpikir, bukan cuma bikin ramai. Ia harus mendorong refleksi, bukan sekadar reaksi.
Politik yang baik tidak anti-viral, tapi tidak tunduk sepenuhnya pada logika viral. Politik yang baik harus tetap punya gagasan, data, dan arah—meskipun itu butuh waktu lebih lama untuk dipahami. Dan kita semua punya peran untuk menghidupkan kembali politik yang seperti itu. Lewat tulisan, lewat konten, lewat percakapan kecil di warung kopi atau di ruang kelas. Karena kalau kita menyerahkan arah politik kita sepenuhnya pada yang paling “rame”, maka jangan heran kalau kita berakhir dengan pemimpin yang banyak gaya, tapi minim kerja nyata.
Mari Kembali kepada Politik Gagasan
Kalau kita jujur melihat situasi hari ini, kita harus mengakui bahwa ada yang salah arah dalam perjalanan politik kita. Bukan karena tidak ada partai, bukan karena tidak ada pemilu, tapi karena isi dari politik itu sendiri mulai dikosongkan. Gagasan pelan-pelan digeser oleh strategi pencitraan, ruang dialog digantikan oleh drama, dan nalar dikalahkan oleh noise. Padahal, politik yang sehat seharusnya jadi ruang untuk bertanya, berpikir, dan menawarkan jalan keluar bersama. Politik yang sehat bukan tempat siapa paling keras bicara, tapi siapa yang paling dalam menggali. Dan yang bisa menghidupkan kembali politik semacam itu, bukan elite, bukan algoritma, tapi kita sendiri—terutama generasi muda.
Anak muda sering dibilang apatis. Tapi faktanya, banyak dari kita hanya jenuh dengan gaya politik yang itu-itu saja: penuh basa-basi, minim isi. Kita tidak anti-politik, kita hanya haus akan politik yang masuk akal. Politik yang bisa menjelaskan kenapa harga pangan naik, kenapa guru honorer masih digaji rendah, kenapa anak-anak di pedalaman masih sulit akses pendidikan dan internet. Karena itu, saya percaya, kembalinya gagasan dalam politik bukan utopia. Ia mungkin, asalkan ada keberanian untuk berpikir, untuk menulis, dan untuk berdialog dengan cara yang lebih jernih dan jujur.
Sebagai bagian dari Bintang Muda Indonesia, saya meyakini bahwa tugas kader muda hari ini bukan cuma mengisi struktur partai, tapi menghidupkan ruang berpikir dalam partai. Kita harus hadir bukan sebagai pemanis wajah muda, tapi sebagai motor intelektual yang mendorong partai untuk berani berpikir dan berani berubah. Menulis satu opini seperti ini mungkin terasa kecil. Tapi jika kita bisa menjadikan menulis, berdiskusi, dan membahas ide sebagai kebiasaan politik sehari-hari, itu sudah langkah besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita.
Karena sejarah tidak pernah digerakkan oleh yang sekadar ramai, tapi oleh mereka yang tahu apa yang sedang mereka perjuangkan. Maka hari ini, saya mengajak kita semua. Mari kita kembali kepada politik gagasan. Bukan karena itu lebih keren, tapi karena itu satu-satunya jalan agar politik kita tetap waras.

Komentar
Posting Komentar