Perkembangan teknologi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam praktik perjudian. Judi online, yang marak terjadi di Indonesia meskipun dinyatakan ilegal, tidak hanya menjadi tantangan hukum tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. Dalam perspektif Jürgen Habermas, fenomena ini dapat dikaji melalui konsep rasionalitas instrumental, di mana teknologi dan sistem ekonomi digunakan untuk mengendalikan masyarakat demi kepentingan kelompok tertentu. Judi online menjadi alat eksploitasi kapitalisme digital yang dirancang untuk menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal dengan cara mengeksploitasi individu, terutama dari kelas ekonomi bawah, yang lebih rentan terhadap ketergantungan finansial akibat perjudian.
Rasionalitas Instrumental dalam Judi Online
Habermas membedakan antara rasionalitas komunikatif dan rasionalitas instrumental. Rasionalitas komunikatif mengacu pada bentuk interaksi sosial yang didasarkan pada komunikasi yang rasional dan terbuka, sedangkan rasionalitas instrumental merujuk pada cara berpikir yang menempatkan efisiensi dan tujuan ekonomi sebagai prioritas utama, tanpa mempertimbangkan implikasi moral dan sosialnya. Dalam konteks judi online, rasionalitas instrumental mendominasi, di mana sistem digital dan algoritma digunakan untuk memanipulasi perilaku manusia guna memaksimalkan keuntungan bagi pemilik platform.
Salah satu cara utama di mana rasionalitas instrumental bekerja dalam judi online adalah melalui penggunaan algoritma dan kecerdasan buatan. Platform judi online dirancang untuk membuat pemain terus berjudi dengan menggunakan teknik psikologis seperti near-miss effect (hampir menang) dan random reinforcement (penguatan acak) yang menciptakan ilusi bahwa kemenangan besar dapat diperoleh jika mereka terus bermain. Sistem ini secara efektif mengubah judi online menjadi mekanisme kontrol yang mempertahankan keterlibatan pemain, bukan sekadar hiburan yang netral.
Selain itu, eksploitasi data menjadi strategi utama dalam
judi online. Dengan menggunakan big data, platform judi dapat
menganalisis pola perilaku pemain dan menyesuaikan strategi pemasaran mereka
untuk mempertahankan keterlibatan pengguna. Pemain yang menunjukkan tanda-tanda
kecanduan judi dapat menjadi sasaran iklan yang lebih agresif atau ditawari
bonus dan cashback untuk terus bermain. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi
yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial justru
digunakan sebagai alat eksploitasi ekonomi yang memanfaatkan kelemahan
psikologis individu demi kepentingan pemilik modal.
Eksploitasi Ekonomi dalam Judi Online
Judi online tidak hanya mengeksploitasi individu secara
psikologis tetapi juga secara ekonomi. Dalam perspektif Habermas, sistem
ekonomi kapitalis modern menggunakan teknologi untuk memaksimalkan
keuntungan dengan cara mengeksploitasi kelompok yang lebih rentan. Dalam
konteks judi online, eksploitasi ekonomi terjadi dalam beberapa bentuk, salah
satunya adalah peralihan kekayaan dari kelas bawah ke kelas atas.
Judi online sering kali menargetkan kelompok masyarakat
dengan kondisi ekonomi yang lebih lemah. Dengan memanfaatkan narasi bahwa judi
adalah cara cepat untuk keluar dari kesulitan finansial, individu yang
mengalami tekanan ekonomi lebih cenderung tergoda untuk mencoba peruntungan
mereka. Namun, sistem judi online dirancang agar lebih banyak keuntungan yang
mengalir ke pemilik platform dibandingkan ke pemain. Penelitian menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil pemain yang benar-benar menang dalam jangka panjang,
sementara mayoritas mengalami kerugian yang signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa judi online merupakan bentuk eksploitasi ekonomi yang secara sistematis
mempertahankan ketimpangan sosial.
Selain itu, sistem kredit dan utang dalam judi online juga
menjadi mekanisme eksploitasi yang signifikan. Banyak platform judi online
menawarkan skema pinjaman atau kredit untuk menarik lebih banyak pemain, dengan
harapan bahwa mereka akan menggunakan uang tersebut untuk terus berjudi .
Pemain yang kalah sering kali terdorong untuk terus bermain dalam upaya untuk
mengembalikan kerugian mereka (chasing losses), yang pada akhirnya
menjerumuskan mereka dalam siklus utang yang semakin dalam. Dalam perspektif
Habermas, ini merupakan bentuk distorsi komunikasi, di mana pemain
diberikan informasi yang menyesatkan tentang peluang kemenangan mereka sehingga
mereka tidak dapat membuat keputusan yang benar-benar rasional.
Judi Online dan Hilangnya Ruang Diskursus Kritis
Salah satu aspek penting dalam teori kritis Habermas adalah
konsep ruang publik (public sphere), yang mengacu pada
tempat di mana masyarakat dapat berdiskusi secara rasional mengenai isu-isu
sosial dan politik tanpa intervensi dari kepentingan ekonomi atau politik
tertentu. Namun, dalam kasus judi online, ruang diskursus ini semakin terkikis.
Salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya ruang diskursus
kritis dalam judi online adalah dominasi narasi pro-judi dalam media
digital. Judi online dipromosikan secara masif melalui berbagai platform
media sosial dan influencer, yang sering kali mengabaikan atau mengecilkan
dampak negatifnya (King & Delfabbro, 2019). Hal ini membuat masyarakat
lebih sulit untuk membentuk kesadaran kritis terhadap bahaya judi online,
karena informasi yang mereka terima telah dikontrol oleh kepentingan ekonomi
yang lebih besar.
Selain itu, kurangnya transparansi dalam regulasi judi
online juga memperburuk situasi. Meskipun judi online ilegal di Indonesia,
banyak platform tetap beroperasi secara terselubung, sering kali dengan
jaringan yang kuat dengan aktor ekonomi dan politik tertentu . Akibatnya,
diskusi mengenai judi online sering kali terbatas pada aspek moral atau hukum,
tanpa mempertimbangkan bagaimana sistem ekonomi dan teknologi berperan dalam
mempertahankan eksploitasi ini.
Dalam perspektif Habermas, fenomena ini merupakan contoh
dari kolonialisasi dunia kehidupan oleh sistem ekonomi, di mana
masyarakat kehilangan kemampuan untuk berdiskusi secara kritis mengenai
fenomena yang sebenarnya memengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Dengan
demikian, judi online tidak hanya menjadi masalah individu tetapi juga gejala
dari kapitalisme digital yang lebih luas, yang menggunakan teknologi
sebagai alat untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan sosial.
Penulis : Mohammad Nayaka Rama Yoga

Komentar
Posting Komentar