Langsung ke konten utama

Narasi Maskulin dalam Industri Film Militer Indonesia


Sumber Gambar : AI

Industri film memiliki peran besar dalam membentuk dan mereproduksi nilai-nilai sosial dalam masyarakat, termasuk dalam membangun identitas gender dan nasionalisme. Di Indonesia, film dengan tema militer sering kali menggambarkan sosok prajurit yang kuat, disiplin, dan heroik, serta menampilkan citra militer sebagai institusi yang gagah dan berwibawa.

Di balik kemasan heroisme tersebut, film militer di Indonesia cenderung didominasi oleh narasi maskulin, yang tidak hanya menekankan keberanian dan kekuatan laki-laki, tetapi juga membangun stereotip gender yang mempertahankan hegemoninya dalam politik, sosial, dan budaya.

Film seperti Merah Putih (2009-2011) dan Jenderal Soedirman (2015) menggambarkan tokoh laki-laki sebagai pemimpin dan pejuang yang tak tergoyahkan. Mereka tidak hanya ditampilkan sebagai sosok dengan fisik yang kuat, tetapi juga sebagai figur yang memiliki mental baja, tekad yang tidak mudah goyah, dan disiplin yang tinggi. Stereotip ini menunjukkan bahwa menjadi laki-laki berarti harus tangguh, tidak boleh menunjukkan kelemahan, dan selalu siap berjuang di garis depan.

Narasi maskulin dalam film militer juga berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai kepatuhan dan kedisiplinan sebagai sifat utama laki-laki. Dalam banyak film militer Indonesia, terdapat adegan-adegan yang menunjukkan bagaimana seorang prajurit harus mematuhi perintah atasannya tanpa banyak bertanya. Karakter yang mempertanyakan perintah atau menunjukkan emosi yang dianggap "lemah", seperti ketakutan atau keraguan, sering kali ditampilkan sebagai sosok yang perlu "dibimbing" atau bahkan dianggap tidak layak menjadi bagian dari militer. Representasi ini memperkuat ideologi militeristik yang menempatkan maskulinitas sebagai pusat kekuatan, kepemimpinan, dan pengorbanan demi negara.

Film militer seperti ini menghilangkan sisi emosional laki-laki yang lebih humanis. Dalam banyak film perang atau film dengan tema kepahlawanan, tokoh utama jarang ditampilkan menangis atau menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, mereka selalu digambarkan sebagai sosok yang mampu mengatasi penderitaan dengan keberanian dan keteguhan hati. Pola ini memperkuat gagasan bahwa menjadi laki-laki berarti harus mampu menghadapi segala tantangan tanpa menunjukkan kelemahan. Dalam jangka panjang, representasi seperti ini berkontribusi terhadap standar sosial yang menekan laki-laki untuk selalu tampil kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi mereka secara terbuka.

Pembentukan citra laki-laki sebagai sosok yang dominan dan peminggiran peran perempuan dalam dunia militer menjadi ciri khas dari film militer Indonesia. Jika ada tokoh perempuan dalam film militer, mereka hampir selalu memiliki peran yang terbatas, seperti istri atau ibu yang mendukung perjuangan suami atau anaknya, atau sebagai perawat yang merawat prajurit yang terluka. Sangat jarang perempuan diberikan peran sebagai tokoh utama yang setara dengan laki-laki dalam dunia militer. Hal ini mencerminkan bagaimana industri film masih melihat militer sebagai domain laki-laki, sementara perempuan hanya berfungsi sebagai pendukung dalam narasi kepahlawanan.

Teori Maskulinitas R.W. Connell

Dari perspektif teori maskulinitas R.W. Connell, film-film militer Indonesia mencerminkan apa yang disebut sebagai hegemonic masculinity (maskulinitas hegemonik). Menurut Connell maskulinitas ideal ditampilkan melalui kekuatan fisik, kepemimpinan, dan dominasi laki-laki dalam ruang publik, termasuk dalam wilayah kemiliteran. Film-film ini juga mereproduksi gagasan bahwa memanggul senjata dan berperang adalah tugas laki-laki, sementara perempuan hanya mengerjakan tugas-tugas yang lebih pasif. Akibatnya, film militer tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga menjadi alat untuk meneguhkan norma-norma gender yang sudah mapan dalam masyarakat.

Dalam karyanya Masculinities (1995), Connell kembali memaparkan bahwa maskulinitas bukan sesuatu yang bersifat alami atau biologis, melainkan konstruksi sosial yang terus dibentuk dan dipertahankan oleh masyarakat. Maskulinitas juga tidak bersifat tunggal, melainkan terdiri dari berbagai bentuk yang berhierarki, di mana beberapa bentuk maskulinitas lebih dominan daripada yang lain.

Connell mengidentifikasi empat kategori utama maskulinitas, yaitu:

  1. Hegemonic masculinity (maskulinitas hegemonik). Bentuk maskulinitas yang dianggap ideal dan dominan dalam masyarakat, sering dikaitkan dengan kekuatan, kepemimpinan, agresivitas, dan dominasi laki-laki dalam ruang publik.
  2. Complicit masculinity (maskulinitas kompromis). Laki-laki yang mungkin tidak sepenuhnya mendominasi tetapi tetap mendapat keuntungan dari sistem yang patriarkal.
  3. Marginalized masculinity (maskulinitas terpinggirkan). Bentuk maskulinitas yang tidak sesuai dengan standar dominan, misalnya laki-laki dari kelompok ras atau kelas sosial yang lebih rendah.
  4. Subordinated masculinity (maskulinitas tersubordinasi). Bentuk maskulinitas yang dianggap lemah atau inferior dibandingkan maskulinitas hegemonik, misalnya laki-laki yang lebih emosional atau memiliki sifat yang lebih dekat dengan femininitas.

Maskulinitas Hegemonik dan Relasi dengan Perempuan dalam Film Militer

Maskulinitas hegemonik tercermin dalam cara laki-laki berinteraksi dengan perempuan. Film militer Indonesia sering kali menggambarkan laki-laki sebagai pelindung perempuan, di mana tokoh laki-laki memiliki peran sebagai pahlawan yang bertugas menjaga kehormatan dan keamanan perempuan. Hal ini memperkuat stigma bahwa laki-laki adalah aktor utama dalam kehidupan publik (terutama militer dan politik), sementara perempuan hanya memiliki peran pendukung.

Perempuan dalam film militer sering kali ditampilkan dalam peran subordinat, seperti istri yang setia menunggu di rumah, ibu yang memberi semangat kepada anak laki-lakinya untuk berjuang, atau perawat yang merawat prajurit yang sedang terluka. Peran-peran ini menunjukkan bahwa perempuan dalam film militer Indonesia jarang diberikan ruang untuk memiliki agensi sendiri, melainkan hanya berfungsi sebagai pelengkap bagi narasi maskulin yang dominan.

Misalnya, dalam film-film tentang perang kemerdekaan, tokoh perempuan hadir dalam bentuk ibu yang menangis melepas anaknya pergi berperang, tetapi tidak pernah menjadi aktor utama yang mengambil keputusan dalam perjuangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa film militer tidak hanya mereproduksi maskulinitas hegemonik, tetapi juga mempertahankan sistem gender yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai pendukung.

Dengan menggunakan teori ini, kita sebagai penonton bisa memahami bahwa film militer Indonesia bukan hanya sekadar media hiburan, tetapi juga menjadi alat ideologi yang mereproduksi maskulinitas hegemonik sebagai standar sosial. Film-film ini memperkuat citra laki-laki sebagai pemimpin, pejuang, dan pelindung bangsa, sementara perempuan ditempatkan dalam peran pendukung yang terbatas.

Penulis: Mohammad Nayaka Rama Yoga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat

Makan Bergizi Gratis: Militerisasi Urusan Perut Rakyat Ilustrasi MBG oleh Prajurit TNI AD Belakangan, negara kembali hadir dalam urusan rakyat, yakni dalam wujud seragam loreng. Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah kini dilaksanakan oleh TNI AD di berbagai daerah. Tentu, tidak ada yang salah dengan niat memberi makan anak-anak. Tapi persoalannya bukan sesederhana soal niat baik. Ketika institusi militer mulai masuk mengurus dapur, distribusi logistik, bahkan kualitas gizi anak sekolah, kita patut bertanya: ke mana sipil? Normalisasi Militer dalam Kehidupan Sipil Keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya soal pragmatisme. Ini adalah bagian dari proses yang lebih dalam, yaitu normalisasi kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari rakyat , yakni  proses perlahan dan sistematis yang terjadi sejak pasca reformasi. Apa yang dulu dianggap sebagai penyimpangan, kini dianggap sebagai kewajaran. Pasca reformasi 1998, militer secara formal ditarik dari politik ...

Membaca Dwi Fungsi ABRI Melalui Teori Kritis Mazhab Frankfurt

Sumber Gambar: AI Dwi Fungsi ABRI pertama kali dirumuskan sebagai kebijakan resmi pada tahun 1958, tetapi mencapai puncak pengaruhnya pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Doktrin ini menyatakan bahwa militer memiliki dua fungsi utama: fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial-politik . Dengan demikian, TNI tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara tetapi juga berhak terlibat dalam pemerintahan, ekonomi, dan aspek sosial lainnya. Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni , Kita dapat melihat Dwi Fungsi ABRI sebagai strategi untuk menjadikan dominasi militer dalam politik sebagai sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Hegemoni bukan hanya tentang penggunaan kekuatan fisik, tetapi juga tentang bagaimana gagasan tertentu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Rezim Orde Baru menggunakan berbagai saluran seperti pendidikan, media, serta narasi sejarah untuk menanamkan gagasan bahwa t...

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai

Apakah Salah Ketika Saya Berpartai Oleh : Mohammad Nayaka Rama Yoga Dahulu, pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, orang Indonesia tidak pernah malu untuk berpolitik. Justru pada masa itu, masyarakat merasa bangga apabila mereka menjadi bagian dari suatu partai. Petani ikut rapat organisasi petani di setiap balai desa, buruh membaca koran partai di sela-sela waktu istirahat kerjanya, mahasiswa belajar berorasi dari mentor-mentor organisasi sayap partai, dan ibu-ibu di kampung-kampung mengikuti kegiatan arisan yang dikelola oleh organisasi perempuan partai. Politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sebagai sesuatu yang jauh, rumit, atau hanya milik para elite partai. Sejarawan Benedict Anderson (1972) menyebut masa-masa ini sebagai periode ketika rakyat bukan hanya berbicara tentang politik, tetapi benar-benar menjalankan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pada masa itu, partai-partai politik memiliki basis sosial yang sangat kuat, bahkan sampai terse...